Gagal di Papandayan

Foto by @adventri_siregar

“Lestari desaku, lestari alamku, di mana Tuhanku menitipkan aku”

Setelah sekian tahun, akhirnya di Oktober 2018 terngiang lagi lagu Lestari Alamku dari Om Gombloh di daya pikirku dan serasa memenuhi selubung gendang telingaku setiap aku melangkahkan kaki ke Gunung. Meski tanpa suara yang keluar dari mulutku, tapi lantunan lagu ini seolah memenuhi telingaku, mengiringi langkah kakiku yang terseok mendaki Papandayan.


Ya, mendaki lagi setelah sekian tahun adalah hal lumayan menakjubkan untukku. Dan ini terjadi setelah soulmate gaje-ku si Vema secara mendadak ngechat “Coel yok naik ke Papandayan, minta data lo. Entar gue transfer segera”. Meski ngomel karena merasa aslinya tidak siap, tapi dengan polosnya aku mengisi data yang dia minta.

Tumben banget sih soulmate satu ini, semacam ingin “merengkuh dunia”, nggak kaya biasanya yang terkungkung dalam satu kisah kaset rusak hahaha😝

Jadi Vema mendaftar paket pendakian di @Cheerfulbackpack, pemandu wisata ke beberapa daerah wisata di Jawa. Tapi lebih dominan mendaki ke gunung-gunung di Jawa. Beberapa hari kemudian, Vema kembali update “Sudah gue daftarin dan transfer, awaass lo ya kalau sampe nggak datang” udah maksa, ngancam pula. Heran akutu kadang-kadang sama soulmate ini, tapi lebih heran lagi sama diri sendiri yang ngomel tapi berangkat juga hedeeh

Bersiap naik dari titik Camp David (foto milik  @adventri_siregar)

Sebenarnya hampir membatalkan berangkat, karena menyadari naik gunung itu aslinya melelahkan. Mikirnya “Sanggup nggak ya, secara usia nggak lagi kepala dua, hampir tidak pernah olahraga sama sekali. Kalau drop di jalan kan malah menyusahkan banyak orang”. Nggak punya ransel yang memadai sama sekali. Pesan di Tokopedia sampai hari berangkat ranselnya belum sampai. Langsung mood-nya down. 

Terus susah payah mengumpulkan semangat lagi buat berangkat dengan persiapan seadanya, demi si Vema yang akhir-akhir ini berubah jadi lebih semangat, serasa mau merengkuh dunia hahaha

Berdasarkan rundown dari pemandu, wajib kumpul di terminal Rambutan di jalur bis ke Garut maksimal pukul 22.00 WIB. Dalam rombongan ini ada 12 peserta dan dua pemandu. 

Perlengkapan yang perlu disiapkan untuk mendaki ke Papandayan 
Khusus pemula, yang sudah terbiasa muncak di sana-sini boleh tambahkan di kolom komentar kalau dirasa ada yang kurang ya 

Kalau ikut paket wisata apalagi ala-ala backpaker bawaan lebih simple. Sleeping bag, karpet tidur, dan tentu saja jaket tahan dingin tingkat maksimal, sarung tangan, kaos kaki, senter, mantel untuk antisipasi hujan. 

Dari pihak pemandu juga diberi noted apa saja yang harus dibawa sebelum berangkat. Selebihnya sesuaikan kebutuhan diri sendiri, seperti obat-obatan, peralatan bersih-bersih diri. Sikat gigi, sabun cuci muka, sampai sun blog. Sesuaikan dengan kebutuhan diri.

Perlengkapan ini tentu akan berbeda kalau kita berangkat secara mandiri, tidak ikut paket wisata dengan bantuan pemandu.

Saranku, bawa baju seminimnya saja karena gunung pasti dingin, jadi jarang berkeringat. Lumayan mengurangi beban pundak.

Perjalanan dan rute pendakian Papandayan

Balik ke perjalanan, malam dari Kampung rambutan sampai terminal Garut subuh sekitar pukul 05.00 WIB. Begitu membuka mata dan turun dari bis, pertama kali yang kurasakan adalah hawa dingin yang mulai merasuk ke sekujur tubuh.

Pertigaan Pasar Cisurupan
Perjalanan dilanjutkan dengan angkot sekitar satu jam ke pertigaan Pasar Cisurupan. Angkot hanya sampai di sini, untuk naik ke kawasan Papandayan harus menggunakan ojek atau mobil bak. Mungkin sudah peraturan trayek bagi-bagi rejeki secara tak tertulis antara angkot dan masyarakat pemilik mobil bak dan ojek kali ya *hanya analisa singkat*

Di pertigaan Pasar Cisurupan bisa sarapan dan numpang bersih-bersih diri di warung yang kita singgahi sebelum naik. Sekitar pukul setengah sembilan, 30 menit dari pertigaan Pasar Cisurupan akhirnya sampai juga di Camp David, titik awal pendakian. Di sini banyak warung dan halaman parkir mobil luas.

Pendakian Papandayan dianggap oleh banyak orang sebagai “Gunung pendakian pemula”. Bagi yang ingin memulai cita-cita mendaki semua gunung di Indonesia, Papandayan bisa dijadikan latihan awal. Menurutku mungkin karena selain jalurnya tidak tidak terlalu tinggi dengan jarak tempuh tidak terlalu lama dibanding gunung lain, di sini sudah menyerupai tempat piknik umum.

Sudah banyak mobil pribadi parkir
Kenapa? Banyak warung bahkan sampai ke pusat camp Pondok Saladah warung berjejer. Air melimpah, baik untuk mandi, bersih-bersih (yang penting kuat dingin) maupun konsumsi. Ingin tahu kenikmatan hakiki nomer dua dari sebotol air gunung yang sesungguhnya? Naiklah gunung macam Papandayan dan ambil langsung air kran aliran air gunung yang tersedia, langsung minum.

Kenikmatan hakiki nomer satu air gunung? Yaitu dinikmati saat berbuka puasa, menurut aku sih 😆

Dan yang paling penting di Pondok Saladah sudah ada mushola dan aslinya bisa banget ke Pondok Saladah naik ojek trail. 

Dibilang berat banget, bagi orang macam aku yang jarang olahraga sudah pasti iya. Tapi bagi pemula yang fisiknya masih fit macam remaja, mahasiswa sih jalur ini bisa dibilang “Kecilllll”.
Pos 1, istirahat sambil pepotoan dan "berusaha menyentuh" gunung 😝

Menuju pusat camp yang ditempuh sekitar 2-5 jam, antara santai banget, santai, nggak santai sampai buru-buru. Sepanjang tanjakan akan melewati dua post bawah. Pos satu, ada pondokan tempat istirahat sambil mengambil foto dan memandang jejeran pegunungan.

Naik lagi ada pos pantau dua yang bisa dijadikan tempat istirahat sambil nongkrong di warung. Ingin tahu rasanya kenikmatan hakiki nomer dua di  dunia (Nomer satunya dinikmati saat berbuka puasa lagi, hehe...) dalam sepotong semangka dan secuil pisang goreng hangat? Maka naiklah gunung dan nikmati saat istirahat dalam kondisi sangat-sangat lelah mendaki.

Dua jalur mendaki di pos 2, kanan untuk naik dan kiri arah turun
Dari pos dua, terdapat dua simpangan jalan mendaki. Satu ke arah kanan yang jalannya menurun. Ini adalah jalur yang biasa dilewati para pendaki yang ingin sambil kemping di Pondok Saladah. Jalur ke kiri, sangat-sangat menanjak, ini adalah jalur piknik pengunjung tanpa menginap. Juga merupakan jalur turun bagi yang turun kemping.

Jalurnya lebih pendek menuju puncak hutan mati alias Dead Forest, pusat wisata Papandayan, selain Tegal Alun.

Persiapkan diri lahir batin setelah jalur menurun ini dan melewati jembatan yang kata Bella, salah satu peserta rombongan kami, seperti wisata ala luar negeri, jalur berikutnya adalah nanjak, nanjak, nanjak dan terus menanjak. 
Jalur penghiburan sejenak alias turunan sedikit setelah sungai, sebelum dihajar naik-naik-naik 😆 
(Foto by @adventri_siregar)
Di sini aku sempat hopeless dan mau naik ojek motor trail beneran deh. Tapi pemandu ceriwis kami, Agung, mati-matian nyemangati dan berkata “Kita tunggu selamabt-lambatnya sampai jam berapa pun. Yang penting nggak sampai malam”. Diiihhh, nggak tau yaa akutu dah sesak nafas aslinya hahaha

Akhirnya sampai di pos 3 dan kami istirahat tidur lama di sini. Katanya sih Pondok Saladah tinggal sedikit lagi, sekitar 20-30 menit lagi dari titik ini. Dan memang benar, setelah sedikit menanjak dan melewati hutan kering sedikit sampailah kami di pusat camp terbesar Papandayan. Dan acara selanjutnya adalah mendirikan tenda, masak dan membuat api unggun.

Sampai juga akhirnya di Pusat Camp. Pondak Saladah

Jadi hakikat wisata ke gunung adalah mengejar sunrice, yang kalau di Papandayan ditongkrongin dari puncak hutan mati dan melihat hamparan edelweis di Tegal Alun.

Dilaksanakan pukul setengah 5 subuh, mulai mendaki. Tapi aku memutuskan tidak ikut dan tidur di tenda.

Jangan bayangkan foto ala blogger yang background-nya harus bersih 😛 (Foto by @adventri_siregar)

Ya, bisa dibilang aku gagal di trip Papandayan ini. Pernah ke Bromo dan dikepung hawa dingin, kali ini aku merasa dingin Papandayan jauh lebih menusuk dan sempat membuat tanganku kram. Setelah aku flashback lagi, perkiraan ku penyebabnya tubuhku tidak kuat dengan perubahan suhu mendadak.

Hampir satu bulan belakangan sebelum tanggal pendakian ke Papandayan bisa dibilang Jakarta sangat-sangat panas, bahkan tanda cuaca di HP sempat menunjukan angka 36 derajat . Dan aku bukan pengguna AC di rumah, bisa dibilang tubuhku cukup kaget dengan perubahan cuaca yang mendadak dan sangat ekstrem.

Jangan ditanya ku di mana, karena tak ikut naik ke sini hohoho...padang Edelweis Tegal Alun (Foto by @adventri_siregar)

Next jika teman-teman ingin ke sana, perkirakan perbandingan cuaca tempat kita tinggal dan kondisi di Papandayan saat itu. Kalau memang sangat ekstrem tidak ada salahnya stay dulu di sekitaran Garut 1-2 hari untuk penyesuaian tubuh. Dan aku sudah ditawari mamak Liswanti dari sekarang loh buat next stay di rumahnya. Semoga bisa ke sana lagi dan berhasil muncak hingga ke Tegal Alun. 

Beberapa hal yang perlu teman-teman ketahui saat akan ke Papandayan

Di Papandayan sinyal tidak bersahabat, sebelum naik pastikan semua urusan yang harus dibereskan by chat, email dan social media sudah selesai maksimal di Camp David. Sinyal hilang timbul bagai gebetan yang PHP hanya ada sampai di Camp David naik sedikit.

Warung yang ada di Papandayan semua diisi masyarakat lokal. Tapi untuk harga cukup bersahabat, tidak seperti banyak cerita di tempat wisata “Warung tukang getok harga” mentang-mentang yang datang orang asing luar daerah Garut yang hanya sesekali-duakali ke sini. Bahkan sepotong semangka hanya Rp 2000 saja loh.

Saat naik, persiapkan diri melihat banyak hal tak terduga yang mungkin saja menghampiri. Yang penting yakin dan enjoy saja bahwa kita tidak sendirian di atas. satu Camp Pondok Saladah itu yang kemping ada ratusan tenda. 

Warung-warung lokal yang bertebaran di Papandayan
Jadi jangan takut saat melihat keanehan teman yang kaku tidak bisa bergerak di dalam tenda, atau melihat jam smartphone yang tidak diutak-atik, bahkan sebagian waktu dimatikan karena tidak ada sinyal tiba-tiba jamnya bisa maju sendiri sampai hampir 3 Jam. 

Saat tidur sesekali mendengar suara babi hutan dekat tenda juga tidak usah panik, karena itu hal biasa. Ulat bulu bertebaran di mana-mana, tapi sebenarnya tidak membuat gatal. Hanya bagi yang jijik’an dan mudah geli, langsung menghindar saja. Masuk tenda damai sentosa.

Sebagai pengunjung yang baik dan tertib, ikuti semua aturan seperti jangan membuang dan meninggalkan sampah sembarangan. Dan mohon banget pengertian, kalau mau mencuci perlatan masak dan makan, jangan di kran tempat wudhu dan waktu magrib saat pengunjung antri mau wudhu.

Hutan mati, akan dilewati saat jalur turun dan saat melihat matahari terbit juga di waktu subuh
Cari saluran air yang tersedia yang tidak jadi satu dengan tempat sholat, sehingga tidak menghambat dan menimbulkan antrian wudhu pengunjung lain. Secara ya, waktu magrib itu singkat banget dan dengan cueknya kita kuprek-kuprek alat masak di kran wudhu itu benar-benar membuat kesal 😠

Jalur turun yang bikin kaki pegel
Juga urusan mandi, kalau magrib hindari menggunakan kamar mandi di tempat wudhu. Karena kasusnya akan sama dengan pencuci panci di kran wudhu. Yang mau sholat kebelet buang air sebelum sholat, harus antri di depan kamar mandi mushola menunggu orang kosrek-kosrek body di dalam. Cari kamar mandi lain yang bukan di tempat sholat 😔

Saat turun, kita akan diarahkan melalui hutan mati dan sampai di pos pantau dua yang kalau dari arah mendaki itu sebelah kiri. Perhatikan model sepatu, jangan menggunakan sepatu tanggung, pakai sandal sekalian yang nyaman banget atau tetap sepatu.

Jalur ini sangat curam dan butuh kekuatan kaki lebih kuat untuk menahan agar tidak terpeleset. Karena kalau tidak, dijamin setelahnya akan mengalami pegal otot kaki berhati-hari seperti aku. Iya, lelah akutu hampir seminggu kakiku pegal dan sakit.

Kalau naik, engap nafas yang dalam waktu satu hingga dua jam di atas kembali normal, maka kalau turun salah model sepatu, makan siap-siap pegal seminggu. Jadi aku kemarin pakai sandal gunung nanggung yang saat dibawa melangkah turun jalanan yang sangat curam, sendalnya ternyata agak terasa licin di kaki 😟

Dalam semua pencarian di Google dijelaskan bahwa Papandayan memiliki tinggi 2.665  mdpl, tapi sebenarnya tidak tahu pasti titik yang manakah ini. Tidak tahu yang mana titik 2.665 mdpl ini, karena intinya naik ke Papandayan adalah manikmati Tegal Alun dan matahari terbit di hutan mati. Tapi katanya dua titik ini bukan puncak 2.665 mdpl-nya.

Cieee....dia sempat lihat Milky Way 😋 (Foto by @adventri_siregar)
Dan kalau beruntung cuaca cerah tengah malam hingga menjelang subuh akan bisa melihat Milky Way. Tapi karena tidooorrr, aku belum beruntung menyaksikannya. Soulmate nyebelin akutu beruntung sempat foto 💓💓

Jadi bagaimana, tertarik untuk ke Papandayan? Kalau setelah membaca masih belum kuat iman buat pengen banget, tungguin satu lagi ceritaku tentang perjalanan ke Papandayan ya.

Karena kalau ditulis semua di sini, kalian bakal bosen karena kapanjangan banget kaya proposal lamaran buat meyakinkan calon mertua gituu, yang ada nanti kalian bosan bacanya 😛






3 komentar

  1. Habis naik bus lanjut angkot yg perjalan bisa sejam huaaa tenaga udah habis duluan ya wkwkwk..btw mak Icoel dulu suka melakukan kegiatan naik gunung macam ini ha ha. Baru tahu lho kalau mak Icoel suka olahrga ekstrem begink, dan sudah cocok banget lah..

    BalasHapus
  2. wah jadi inget jaman kulauh suak daki gunung

    BalasHapus
  3. wah, bisa lihat milky way ya di sana?
    menarik sekali

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar ^_^