Jengkol Dalam Persahabatan



Jengkol Tahilala ala Bajar



Beberapa hari ini saya cukup geli melihat, membaca dan mendengar pembicaraan mengenai harga jengkol yang melambung. Bahkan banyak yang menjadikannya guyonan di lini masa. 

Ya, jengkol! Semua orang Indonesia pasti tahu jengkol itu “makhluk” apa. Jengkol adalah buah dari sebuah pohon yang bisa dimakan, baik dalam kondisi mentah maupun matang dengan diolah menjadi berbagai resep masakan sesuai selera. Tapi banyak juga yang tidak suka karena salah satu ciri khas jengkol yang sangat dikenal adalah baunya yang cukup menyengat. Bahkan bisa mengakibatkan bau sampai ke “pembuangan” akhir.


Tapi hal itu tidak mempengaruhi rasa cinta sebagian besar masyarakat Indonesia pada jengkol, termasuk saya. Kesukaan saya pada jengkol bermula dari saat saya duduk di bangku SD di Kalimantan Selatan tepatnya di Pelaihari. Di daerah ini sangat banyak pohon jengkol di setiap pekarangan rumah penduduk setempat. Sehingga jengkol menjadi salah satu camilan favorit di daerah ini dan banyak di jual di berbagai tempat sebagai salah satu jajan pasarnya warga Banjar. Bahkan ada beberapa orang yang memiliki pohonnya di lingkungan rumah secara khusus mengolahnya dan menjualnya dengan cara dijajakan keliling.


Oleh-oleh lain khas Kalimantan


Di Kalimantan sendiri jengkol diolah dengan cara direbus sampai empuk dan dimakan bersama saus santan kentan yang disebut tahilala dan ditaburi gula pasir dan atau merica bubuk. Tahilala itu sebutan untuk sausnya yaitu santan kental yang direbus di wajan sampai mengental dan mengekuarkan minyak, dan setelah minyaknya di sisihkan tersisa gumpalan-gumpalan putih yang sangat kental. Dan untuk mencapai hasil ini, dibutuhkan waktu berjam-jam, biasanya pedagang jengkol mengolah jengkol dan sausnya menggunakan tungku kayu bakar. Dan rasa jengkol yang kenyal di campur gurih, manis dan sedikit pedas mericanya tahilala telah memikat lidah saya sejak berusia anak-anak.

Hingga sekarang saat saya sudah  dewasa (atau menua yah? Hehehe…) dan tinggal di Jakarta, kesukaan pada jegkol tidak berkurang. Bahkan di Jakarta jengkol juga jadi salah satu makanan khas masyarakat kebanyakan hingga mudah ditemukan di mana-mana. Yang masih mentah di pasar, yang matang di warung tegal atau di warung-warung  sayur rumahan. Hanya saja saya tidak pernah menemukan jengkol tahilala ala Banjar favorit saya. Dan saya harus menerima kenyataan bahwa tiap daerah memiliki resep yang berbeda dalam mengolah makanan. Di Jakarta umumnya jengkol disemur dan dijadikan sayur untuk dimakan bareng nasi.

Dan saya baru bisa menikmati jengkol tahilala ala Banjar itu hanya saat mudik ke Kalimantan Selatan setahun sekali. Atau saat ada keluarga yang tandang ke Jakarta.

Untuk membuat sendiri itu tidak mungkin. Pertama karena saya bukan ibu rumah tangga yang rajin berkutat di dapur berjam-jam. Apalagi hingga lima jam hanya untuk membuat camilan kesukaan saya sendiri (suami tidak suka jegkol). Maka saya pun belajar menyukai semur jengkol. Meski terkadang kerindua pada jengkol tahilala ala Banjar benar-benar menagih. Bahkan saking ngefansnya dengan jengkol, saat hamil tiga bulan pertama makanan yang tidak saya muntahkan hanya semur jengkol, ikan asin dan daun singkong rebus yang dicocol sambal. 

Dan dunia blogging membawa saya pada perkenalan dengan banyak sahabat yang salah satunya menghadirkan kisah tersendiri bersama jengkol. Jadi ceritanya mak Tri Sapta salah satu member KEB, sahabat kita semua ternyata adalah asli Banjar. Saat bertemu kami biasa bicara menggunakan Bahasa Banjar. Dan sering bercerita dan berbagi kisah-kisah tentang Tanah Leluhur mak Tri Sapta yang juga tanah tempat saya dibesarkan (saya asli Jawa, tapi besar di Kalimantan Selatan).

Dan pertengahan Mei lalu mak Tri berkesempatan pulang ke Kalimantan Selatan untuk menghadiri acara keluarga. Dia baik hati emak satu ini menghubungi saya melalui BBM.  Apa saya mau titip sesuatu dari atau untuk keluarga saya  di sana? Saya bingung, mau titip apa, meski sebenarnya sudah terlintas dalam pikiranku mau telpon kakak saya supaya membelikan jengkol tahilala dan menitipkannya ke Mak Tri Sapta untuk saya. Tapi saya sungkan…(hadeehh…tahu sungkan ni ceritanya, ya iyalah, secara merepotkan jeee). Ditambah lagi kakak saya sedang dalam persiapan operasi pengangkatan miom. Tambah deh ga enaknya….duh ya berasa adik kurang ajar, nyuruh-nyuruh kakak dan ngerepotin sahabat.

Tapi….karena jengkol itu menggoda pikiran, akhirnya terucap juga di chat BBM aku mau jengkol. Dan dengan baik hatinya Mak Tri bilang “kalau cuma itu tidak usah minta kakakmu, nanti aku yang bawakan” hiks…terharu campur malu! 

Akhirnya kami janjian untuk penyerahan jengkol itu akan dilakukan di daerah tengah antara Tanjung Priok tempat tinggalku dan Jagakarsa tempat tinggal mak Tri Sapta. Dan dipilihlah Pasar Festival Kuningan. Tapi saat hari kedatangan Mak Tri dari Banjar tiba, rencana malah diubah olehnya. Itu jengkol mau lagsung diantar ke Priok. Gimana enggak tambah sungkan saya.

Setelah terus berkomunikasi keputusan bulat dibuat oleh Mak Tri Sapta untuk mengantar miss jengkol ke Tanjung Priok langsung dari bandara. Karena tempat tinggalku masuk kedalam dan lumayan jauh masuknya maka aku memintanya menunggu di jalan raya biar tidak perlu memutar kendaraan terlalu jauh. Aduh ya…saya benar-benar terharu bercampur malu merepotkan sedemikian rupa. Dan pukul 23.00 WIB kami bertemu di depan Kantor Walikota Jakarta Utara untuk menyerahkan miss jengkol. Mak Tri bersama kedua putranya dan abang sopir yang terlihat sangat lelah benar-benar membuat saya malu. Ditambah melihat isi plastik yang diserahkan mak Tri ternyata tidak hanya berisi jengkol tahilala tapi juga ada oleh-oleh lain khas Banjar.

Setelah mengucapkan terima kasih dan cipika cipiki saya dan suami kembali kerumah dan Mak Tri melanjutkan perjalan kerumahnya. Dan apakah cerita berkahir? Belum saudara-saudara. Saat masuk rumah saya kaget ada yang bergetar di dalam kresek jengkol. Saat dibuka ternyata ada HP Mak Tri yang tertinggal di dalamnya. Ya Tuhan…suami saya langsung gomel “gara-gara jengkol jadi repot semua orang” omel suami yang harus kembali ke jalan depan Walikota untuk menyerahkan HP. Dan Mak Tri pun terpaksa harus kembali meminta sopirnya memutar mobil padahal perjalananya sudah lumayan jauh.

Dan saya benar-benar sungkan, malu tapi tidak akan bohong ada rasa senang karena “bertemu” jengkol tahilala ala Banjar.

Dan untuk Mak Tri Sapta maaf ya sudah merepotkan. Kamu salah satu sahabat terbaik yang aku kenal dari ranah blogging. Dan jengkol adalah salah satu pemeran pembantu dalam persahabatan kita. Sekarang setiap melihat jengkol, selain ingat ibu dan keluarga yang di Kalimantan saya juga jadi ingat dirimu mak Tri, hahahaha…!

Salam jengkol…!

7 komentar

  1. enaaaknyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa dianterinnnnnnnnnnn jengkoll..........maooooooooooooo

    BalasHapus
  2. Habis baca ini, no comment deh, numpang senyum lebar ajaaaa :D Salam kenal maakkk :D

    BalasHapus
  3. Bunda sukaaa.... tapi mau masak kalio jengkol atau kolak jengkol susah banget cari yang super tua. Kalo bunda udah bikin kedua resep ini? Yang suka ya cuma bunda sama anak lelaki bunda plus tetangga yang akhirnya keranjingan nanyain resepnya. Sangking doyannya, bisa lho bunda makan kalio tanpa nasi. Hhhmmmm....yummy. Kirimin donk jengkol yang super tua, nanti tak bikinin kolaknya atau kalionya. Ditanggung ketagihan tuh. Ciyuus!

    BalasHapus
  4. wah suami saya juga ngefans berat sama jengkol :) tapi kenapa ya kok saya ga suka gitu... kalo saya malah lebih tergila-gila sama pete :) salam kenal mak.. :)

    BalasHapus
  5. Jengkol bs mempererat persahabatan, ya hehe

    tapi karena sy gak suka jengkol jadi gak ikutan resah :D

    BalasHapus
  6. hihihi...
    saya gag suka jengkol, baik jengkol mentah, mateng ataupun olahannya :D
    say no to jengkol :D

    BalasHapus
  7. saya sukanya pete, sama samaa bau heheh

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar ^_^